Minggu, 07 Juli 2013

Lumpur Lapindo

MELAWAN LUPA
‘memperingati hari ulang tahun lumpur lapindo ke-7’
KOMUNITAS SOSIOLOGI UMM BERGERAK
Tujuh tahun sudah berlalu  bencana semburan lumpur lapindo yang hampir menenggelamkan seluruh daerah porong,sidoarjo.  Lumpur lapindo yang membuat seluruh warga porong menderita karna ganti  rugi yang selama 7 tahun ini belum juga terlunasi, Warga hanya mendapatkan ganti rugi 60%. Banyak warga yang dulunya hidup sejahtera menjadi menderita.
Berangkat dari keprihatinan atas penderitaan yang dialami oleh warga porong,Komunitas Sosiologi UMM melakukan penggelangan dana untuk membantu korban lumpur lapindo.
Bermodalkan 4 buah kardus yang bertuliskan ”Koin Peduli Korban Lumpur”, komunitas sosiologi umm bergerak siang dan malam untuk menggalang dana,mulai dari stasiun kotabaru,alun­-alun batu,alun-alun malang,warung-warung kopi,dan terakhir dihalaman kampus umm.penggalangan dilakukun selama 1 minggu dari tempat yang disebutkan diatas. Hasilnya, dana yang terkumpul mencapai rp.2.860.000 jumlah  yang cukup besar dalam waktu 1 minggu.
Dana yang telah terkumpul tersebut tidak diserahkan dalam bentuk uang ,tapi digunakan untuk membeli peralatan sekolah untuk anak-anak korban lumpur. seperti buku, ballpoint, pensil, dsb. untuk menyerahkan bantuan tersebut,  Komunitas Sosiologi UMM merental 2 angkutan umum (angkot) dari kota malang munuju porong,tepatnya di panti asuhan nurul azhar yang diasuh oleh Bapak Masrukh.
Setibanya di panti nurul azhar yang terletak dipinggir jalan dan berada didepan tanggul lumpur, kami mendapatkan sambutan hangat dari anak-anak penghuni panti, mereka terlihat masih sangat antusias demgan adanya acara penyerahan bantuan dari Komunitas Sosiologi UMM.
 Acara penyerahan bantuan ini bisa dibilang  sangat sederhana, dihadiri oleh para ibu-ibu, anak-anak,dan juga bapak-bapak korban lumpur lapindo dengan acara sambutan-sambutan dan diakhiri dengan penyerahan bantuan.
Ada sesuatu yang sangat mengesankan bagi Komunitas Sosiologi UMM, yaitu ketika sambutan dari salah satu wakil dari korban lumpur lapindo, beliau mengatakan kurang lebihnya seperti ini, “kami sangat senang karena masih ada yang mau peduli terhadap kami, padahal pemerintah sendiri seakan sudah tidak perduli lagi dengan kami’. Ujar ibu paruh baya perwakilan dari korban lumpur lapindo.
‘sejatinya, kebahagian tidak hanya terlahir dari dalam diri atau ketika kita bisa membahagiakan diri sendiri, tetapi kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika kita bisa melihat orang tersenyum dengan keberadaan kita di sisi mereka”

By: Muhammad Akmal, Jurusan Sosiologi Semester 4.

Senin, 24 Juni 2013

Demokrasi Kita

indonesia adalah salah satu negara yang mempraktekkan sistem demokrasi, di mana di dalamnya terdapat kebebasan. setiap orang bebas menentukan jalan hidup mereka masing-masing tanpa ada intervensi dari manapun. sebenarnya, demokrasi adalah hal yang baik bahkan agama pun mengajarkan untuk hidup berdemokrasi, menjunjung tinggi kebebasan perseorangan selama itu masih berada di koridor yang benar dan tidak melanggar hukum, baik hukum negara, adat, maupun agama.
demokrasi kita hari ini begitu berbeda dengan konsep demokrasi yang sesungguhnya dan seharusnya. demokrasi kita sudah banyak dirasuki oleh berbagai macam hal, dirasuki oleh kapitalis yang membuat orang buta akan kekayaan, dirasuki oleh berbagai kepentingan yang orientasinya adalah kepuasan atas kepemilikan kekuasaan, dirasuki oleh pengekangan hak individu melalui 'uang', dirasuki oleh berbagai macam pihak yang tidak bertanggungjawab yang hanya membawa kepentingan kelompok untuk kekuasaan mereka.
lantas, sudah pantaskah demokrasi kita terapkan di negara ini???
demokrasi kita bukan demokrasi kerakyatan, tetapi demokrasi kita adalah demokrasi monopoli, demokrasi dominasi. kenapa tidak? demokrasi kita dipegang oleh beberapa pihak saja, demokrasi kita dikendalikan oleh kepentingan, uang, jabatan... patut untuk kita diskusikan kembali apa esensi dari demokrasi ini????

Kamis, 25 April 2013

KONSEP PEMBERDAYAAN


Power dan Empowerment
Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa-sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideternimisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata-budaya sebelumnya yang berkembang di suatu Negara (Pranarka dan Vidhyandika,1996)
Pada awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternative-alternative baru dalam pembangunan masyarakat. pada hakikatnya, proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari system kekuasaan yang mutlak-absolut (intelektual, religious, politik, ekonomi, dan militer). Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia. Demikian juga, aliran neo marxis, freudianisme, sosiologi kritik, yang menolak industrialisasi, kapitalisme, dan teknologi. Mereka beralasan bahwa ketiga hal diatas dapa mematikan manusia dan kemanusian. Aliran-aliran ini bercita-cita untuk dapat menemukan system yang sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan (Pranarka Dan Vidhyandika, 1996).
Sosiologi structural fungsionalis parson menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat adalah variable jumlah. Menurut perspektif tersebut, power masyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut tujuan kolektif (misalnya, dalam pembangunan ekonomi). Logikanya, pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur social yang tidak berpengaruh negative terhadap kekuasaan (powerful). Dengan ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. Hal inilah yang oleh Schumacker disebut pemberdayaan (Thomas,1992)
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan social. Menurut Rappaport (1987), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh control individu terhadap keadaan social, kekuatan politik, dan hak-hak menurut undang-undang. Sementara itu, McArdle (1989), mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan”keharusan” untuk lebih deiberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun demikian, McArdle mengimplikasikan hal tersebut untuk mencapai tujuan, melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.
Partisipasi merupakan komponen merupakan penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki keahlian baru. Proses dilakukan secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan berpartisipasinya.

Pemberdayaan dan Partisipasi
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses pembangunan belakangan ini di berbagai Negara. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, social, dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agen internasional, Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri (Paul, 1987)
Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai focus isu sentral pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di Negara-negara dunia ketiga merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan industrialisasi (Craig dan Mayo,1995). Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987).
            Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efesiensi, dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari perintah, tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke,1991). Brudtland menyimpulkan bahwa jaminan pembanguna berkelanjutan adalah partisipasi masyarakat (Craig dan Mayo,1995). Clarke menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh keadilan, HAM, dan demokrasi. Namun, penyertaan para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara pemberdayaan.

Retorika Pemberdayaan Masyarakat
Apa yang menjadi ambigu dari pemberdayaan adalah sebuah pertanyaan tentang kesanggupan pemenuhan kebutuhan diri sendiri (Payne,1986). Berapa banyak orang harus melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri? Boleh jadi, pencapaian tujuan pribadi harus memenuhi beberapa tahapan, yaitu:
a.       Identifikasi kebutuhan;
b.      Identifikasi pilihan atau strategis;
c.       Keputusan atau pilihan tindakan;
d.      Mobilisasi sumber-sumber;
e.       Tindakan itu sendiri;
Secara konservatif, pengertian pemberdayaan dibatasi oleh situasi mandiri (Payne, 1986). Menurut pandangan ini, pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif langkah-langkah di atas secara menyeluruh dengan intervensi minimal pihak luar. Bagaimanapun, penggunaan intervensi akan dapat meningkatkan isu keadilan. Bagi mereka yang paling membutuhkan dan belum dapat menyiapkan diri terhadap kebutuhan mereka, biasanya memiliki sedikit ilmu pengetahuan, keterampilan, uang, atau kekuatan fisik. Kondisi ini mendorong intervensi dari luar menjadi tidak proporsional atau berlebihan.
Kotze (1987) menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan yang relative baik untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada. Kendatipun bantuan luar kadang-kadang digunakan, tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan sehingga masyarakat bergantung pada dukungan dari luar. Pendekatan pemberdayaan ini dianggap tidak berhasil karena tidak ada masyarakat yang dapat hidup dan berkembang bila terisolasi dari kelompok masyarakat lainnya. Pengisolasian itu menimbulkan sikap pasif, bahkan keadaan menjadi semakin miskin. Oleh karena itu, pemberdayaan yang lebih menekankan kemandirian dianggap gagal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pandangan yang lebih jelas dikemukakan oleh McArdle (1989) bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam seiap proses pengambilan keputusan. Pola demikian sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pribadi, di antara banyak pilihan yang ada di masyarakat. namun demikian, pada kenyataannya seluruhnya dikerjakanoleh para professional atas nama ‘pemberdayaan’. Oleh karena itu, banyak kritikan yang diarahkan terhadap pendekatan pemberdayaan ini. Pedekatan tersebut dapat gagal menjalankan fungsinya dalam proses control terhadap masyarakat untuk akses terhadap sumber. Sebaliknya, pendekatan tersebut justru menjadikan masyarakat menjadi tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black, 1983).