Kamis, 25 April 2013

KONSEP PEMBERDAYAAN


Power dan Empowerment
Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa-sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideternimisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata-budaya sebelumnya yang berkembang di suatu Negara (Pranarka dan Vidhyandika,1996)
Pada awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternative-alternative baru dalam pembangunan masyarakat. pada hakikatnya, proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari system kekuasaan yang mutlak-absolut (intelektual, religious, politik, ekonomi, dan militer). Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia. Demikian juga, aliran neo marxis, freudianisme, sosiologi kritik, yang menolak industrialisasi, kapitalisme, dan teknologi. Mereka beralasan bahwa ketiga hal diatas dapa mematikan manusia dan kemanusian. Aliran-aliran ini bercita-cita untuk dapat menemukan system yang sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan (Pranarka Dan Vidhyandika, 1996).
Sosiologi structural fungsionalis parson menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat adalah variable jumlah. Menurut perspektif tersebut, power masyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut tujuan kolektif (misalnya, dalam pembangunan ekonomi). Logikanya, pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur social yang tidak berpengaruh negative terhadap kekuasaan (powerful). Dengan ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. Hal inilah yang oleh Schumacker disebut pemberdayaan (Thomas,1992)
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan social. Menurut Rappaport (1987), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh control individu terhadap keadaan social, kekuatan politik, dan hak-hak menurut undang-undang. Sementara itu, McArdle (1989), mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan”keharusan” untuk lebih deiberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun demikian, McArdle mengimplikasikan hal tersebut untuk mencapai tujuan, melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.
Partisipasi merupakan komponen merupakan penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki keahlian baru. Proses dilakukan secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan berpartisipasinya.

Pemberdayaan dan Partisipasi
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses pembangunan belakangan ini di berbagai Negara. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, social, dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agen internasional, Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri (Paul, 1987)
Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai focus isu sentral pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di Negara-negara dunia ketiga merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan industrialisasi (Craig dan Mayo,1995). Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987).
            Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efesiensi, dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari perintah, tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke,1991). Brudtland menyimpulkan bahwa jaminan pembanguna berkelanjutan adalah partisipasi masyarakat (Craig dan Mayo,1995). Clarke menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh keadilan, HAM, dan demokrasi. Namun, penyertaan para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara pemberdayaan.

Retorika Pemberdayaan Masyarakat
Apa yang menjadi ambigu dari pemberdayaan adalah sebuah pertanyaan tentang kesanggupan pemenuhan kebutuhan diri sendiri (Payne,1986). Berapa banyak orang harus melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri? Boleh jadi, pencapaian tujuan pribadi harus memenuhi beberapa tahapan, yaitu:
a.       Identifikasi kebutuhan;
b.      Identifikasi pilihan atau strategis;
c.       Keputusan atau pilihan tindakan;
d.      Mobilisasi sumber-sumber;
e.       Tindakan itu sendiri;
Secara konservatif, pengertian pemberdayaan dibatasi oleh situasi mandiri (Payne, 1986). Menurut pandangan ini, pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif langkah-langkah di atas secara menyeluruh dengan intervensi minimal pihak luar. Bagaimanapun, penggunaan intervensi akan dapat meningkatkan isu keadilan. Bagi mereka yang paling membutuhkan dan belum dapat menyiapkan diri terhadap kebutuhan mereka, biasanya memiliki sedikit ilmu pengetahuan, keterampilan, uang, atau kekuatan fisik. Kondisi ini mendorong intervensi dari luar menjadi tidak proporsional atau berlebihan.
Kotze (1987) menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan yang relative baik untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada. Kendatipun bantuan luar kadang-kadang digunakan, tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan sehingga masyarakat bergantung pada dukungan dari luar. Pendekatan pemberdayaan ini dianggap tidak berhasil karena tidak ada masyarakat yang dapat hidup dan berkembang bila terisolasi dari kelompok masyarakat lainnya. Pengisolasian itu menimbulkan sikap pasif, bahkan keadaan menjadi semakin miskin. Oleh karena itu, pemberdayaan yang lebih menekankan kemandirian dianggap gagal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pandangan yang lebih jelas dikemukakan oleh McArdle (1989) bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam seiap proses pengambilan keputusan. Pola demikian sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pribadi, di antara banyak pilihan yang ada di masyarakat. namun demikian, pada kenyataannya seluruhnya dikerjakanoleh para professional atas nama ‘pemberdayaan’. Oleh karena itu, banyak kritikan yang diarahkan terhadap pendekatan pemberdayaan ini. Pedekatan tersebut dapat gagal menjalankan fungsinya dalam proses control terhadap masyarakat untuk akses terhadap sumber. Sebaliknya, pendekatan tersebut justru menjadikan masyarakat menjadi tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black, 1983).

0 komentar:

Posting Komentar