Power
dan Empowerment
Konsep
pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa-sedarah dengan aliran
yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran post-modernisme. Aliran ini
menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon
antisistem, antistruktur, dan antideternimisme yang diaplikasikan pada dunia
kekuasaan. Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi
terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata-budaya sebelumnya yang
berkembang di suatu Negara (Pranarka dan Vidhyandika,1996)
Pada
awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan
alternative-alternative baru dalam pembangunan masyarakat. pada hakikatnya,
proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari system kekuasaan
yang mutlak-absolut (intelektual, religious, politik, ekonomi, dan militer).
Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme dan
personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses
dehumanisasi eksistensi manusia. Demikian juga, aliran neo marxis,
freudianisme, sosiologi kritik, yang menolak industrialisasi, kapitalisme, dan
teknologi. Mereka beralasan bahwa ketiga hal diatas dapa mematikan manusia dan
kemanusian. Aliran-aliran ini bercita-cita untuk dapat menemukan system yang
sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan (Pranarka Dan Vidhyandika,
1996).
Sosiologi
structural fungsionalis parson menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat
adalah variable jumlah. Menurut perspektif tersebut, power masyarakat adalah
kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut tujuan kolektif
(misalnya, dalam pembangunan ekonomi). Logikanya, pemberdayaan masyarakat
miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur social yang tidak
berpengaruh negative terhadap kekuasaan (powerful).
Dengan ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen
pembangunan. Hal inilah yang oleh Schumacker disebut pemberdayaan (Thomas,1992)
Konsep
pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan
konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya,
pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan social. Menurut
Rappaport (1987), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis
pengaruh control individu terhadap keadaan social, kekuatan politik, dan
hak-hak menurut undang-undang. Sementara itu, McArdle (1989), mengartikan
pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan tersebut. Orang-orang yang
telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan
merupakan”keharusan” untuk lebih deiberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan
akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai
tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun
demikian, McArdle mengimplikasikan hal tersebut untuk mencapai tujuan,
melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.
Partisipasi
merupakan komponen merupakan penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses
pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat
dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk
memperoleh rasa percaya diri, memiliki keahlian baru. Proses dilakukan secara kumulatif
sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik
kemampuan berpartisipasinya.
Pemberdayaan dan Partisipasi
Pemberdayaan
dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses
pembangunan belakangan ini di berbagai Negara. Pemberdayaan dan partisipasi
merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi,
social, dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat
menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agen
internasional, Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat di
dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin
melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri
(Paul, 1987)
Strategi
pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai focus isu sentral
pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di Negara-negara dunia ketiga
merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan
industrialisasi (Craig dan Mayo,1995). Bank dunia meletakkan pemberdayaan
sebagai salah satu objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987).
Sementara itu, strategi pemberdayaan
meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efesiensi, dan
sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan
kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari perintah, tetapi dari
LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke,1991). Brudtland
menyimpulkan bahwa jaminan pembanguna berkelanjutan adalah partisipasi
masyarakat (Craig dan Mayo,1995). Clarke menyatakan bahwa partisipasi
masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk
mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok
grassroot) dapat memperoleh keadilan, HAM, dan demokrasi. Namun, penyertaan
para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara
pemberdayaan.
Retorika Pemberdayaan Masyarakat
Apa
yang menjadi ambigu dari pemberdayaan adalah sebuah pertanyaan tentang
kesanggupan pemenuhan kebutuhan diri sendiri (Payne,1986). Berapa banyak orang
harus melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri? Boleh jadi, pencapaian
tujuan pribadi harus memenuhi beberapa tahapan, yaitu:
a. Identifikasi
kebutuhan;
b. Identifikasi
pilihan atau strategis;
c. Keputusan
atau pilihan tindakan;
d. Mobilisasi
sumber-sumber;
e. Tindakan
itu sendiri;
Secara
konservatif, pengertian pemberdayaan dibatasi oleh situasi mandiri (Payne,
1986). Menurut pandangan ini, pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif langkah-langkah
di atas secara menyeluruh dengan intervensi minimal pihak luar. Bagaimanapun,
penggunaan intervensi akan dapat meningkatkan isu keadilan. Bagi mereka yang
paling membutuhkan dan belum dapat menyiapkan diri terhadap kebutuhan mereka,
biasanya memiliki sedikit ilmu pengetahuan, keterampilan, uang, atau kekuatan
fisik. Kondisi ini mendorong intervensi dari luar menjadi tidak proporsional
atau berlebihan.
Kotze
(1987) menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan yang relative baik
untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada. Kendatipun bantuan luar
kadang-kadang digunakan, tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan sehingga
masyarakat bergantung pada dukungan dari luar. Pendekatan pemberdayaan ini
dianggap tidak berhasil karena tidak ada masyarakat yang dapat hidup dan
berkembang bila terisolasi dari kelompok masyarakat lainnya. Pengisolasian itu
menimbulkan sikap pasif, bahkan keadaan menjadi semakin miskin. Oleh karena
itu, pemberdayaan yang lebih menekankan kemandirian dianggap gagal untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pandangan
yang lebih jelas dikemukakan oleh McArdle (1989) bahwa hal terpenting dalam
pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam seiap proses pengambilan keputusan.
Pola demikian sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pribadi, di antara banyak
pilihan yang ada di masyarakat. namun demikian, pada kenyataannya seluruhnya
dikerjakanoleh para professional atas nama ‘pemberdayaan’. Oleh karena itu,
banyak kritikan yang diarahkan terhadap pendekatan pemberdayaan ini. Pedekatan
tersebut dapat gagal menjalankan fungsinya dalam proses control terhadap
masyarakat untuk akses terhadap sumber. Sebaliknya, pendekatan tersebut justru
menjadikan masyarakat menjadi tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black, 1983).
0 komentar:
Posting Komentar